Jadi belakangan gatau kenapa aku dan suami seneng banget sama film-film lokal. Apalagi semenjak kita akrab dengan aplikasi Netflix. Semenjak jadi langganan Netflix kita hampir tiap malam movie time sebelum tidur. Setidaknya satu film kita nonton bersama sebelum tidur. Nah beberapa waktu lalu, kita sempat nonton film Liam dan Laila.
Source : kapanlagi.com
Awalnya kami tertarik sama film ini karna dari posternya aja kita tau nih kalau film ini dibuat di daerah asal kami, Sumatera Barat. Selain itu karna film ini juga mengikut sertakan selebgram lokal sebagai aktor dan aktrisnya. Tapi ternyata setelah nonton, jalan cerita di film ini lebih menarik karena relate banget sama kehidupan sehari-hari.
Jadi ceritanya, si Laila ini adalah seorang gadis minang berpendidikan tinggi. Walaupun minang banget dan tinggal di kampung nih, si Laila ini keren banget. Dia punya toko online yang pelangganya sampe ada yang dari luar negeri. Singkat cerita ketemulah sama Liam yang notabenenya adalah bule yang domisilinya di luar negri.
Nah.. ini nih yang menarik. Fluktuasi di film ini ternyata ada di perjuangan Liam untuk bisa menikahi Laila. Teman-teman pembaca yang 'urang awak' pasti taukan, jangankan urusan administrasi antar negara dulu nih yang kudu di lewati Liam, mikirin tembus urusan adat ninik mamaknya aja pusing gak tuh?
Jadi, di minang memang masih kental banget sama adat istiadatnya. Tiap daerah punya protokeler yang beda-beda dalam urusan menikah. Contohnya nih, di daerah Pariaman kalau kita nikah sama pria asli sana harus di 'beli' dulu. Harganya variatif, tergantung eksistensi dari si pria Pariaman ini. Dan.. eksistensi ini bisa diukur dari banyak hal, misalnya pekerjaan, bibit bobot keluarganya dan lain-lain. Jadi yang lagi pacaran sama Ajo (sebutan pria asli Pariaman) siap-siapin budget ya! wkwk.
Terus kalaupun kita punya bugdet nih, urusan gak selesai begitu aja. Kita harus lewatin dulu nih pertemuan keluarga beserta ketentuan adat yang berlaku. Kebetulan suamiku juga orang minang asli, dulu pas lamaran keluargaku diminta bawain makanan yang namanya "bika", kain balapak dan sirih beserta tempatnya yang terbuat dari tembaga. Jujur, aku mo nangis kalau harus banget mengingat kerepotan waktu itu. Belum lagi harus nyari orang yang bisa berbalas pantun karna saudara ibuku yang harusnya jadi kang balas pantun ga ngerti sama adat semacam itu karna lama tinggal jauh dari kampung halaman.
Teman-teman bisa banyangin ga? aku si perempuan minang yang nikah sama pria minang aja mau nangis kalau harus mengingat kembali protokoler adat sebelum nikah. Apalagi Liam si Bule yang bukan orang minang. Namun berkat tekat kuat dan cintanya pada Laila nih (eaa) panjang cerita urusan adatpun kelar. Next? ngurus administrasi dong.
Eh taunya ngurusin administrasi nikah jauuh lebih pelik. Si Liam dipersulit sama petugas KUA nya. Di awal-awal emang bener sih, Liam kan kudu masuk islam dan khitan dulu kan ya. Eh urusanya jadi dipersulit dan makin ga masuk akal. Secara berkas, si Liam ini sebenernya udah lengkap. Tapi ada suatu dokumen yang sebenernya udah sah, tapi diminta sama petugasnya yang di film itu merupakan salah satu ASN pemerintahan untuk di legalisir di kedutaan negara asal Liam yanga ada di Jakarta. Mo nangis !!
Yang lebih sedihnya, petugas kedutaan malah bilang berkas yang dimintai legalisir sama si Liam ini sudah sah tanpa harus di legalisir. Mana petugasnya bingung ngapen elu jauh-jauh dari Bukittinggi ke Jakarta untuk melegalisasi berkas yang udah sah.
Karna kesel sama pegawai KUA di film, aku jadi flashback ke waktu aku dan suami ngurus urusan nikah di KUA. Jadi ceritanya, untuk bisa hadir di hari skrining dalam rangka menerima nasehat pra nikah dari penghulu adalah sebuah perjuangan banget buat kami berdua. Suami yang waktu itu masih jadi calon suami harus izin ke atasan dan menempuh jarak 50 Km dari kantor agar bisa hadir. Sementara aku yang waktu itu adalah petugas Costumer Service di bank plat merah yang nasabahnya ramee everyday harus ijin ninggalin nasabah yang udah antre berjam-jam.
Karna hari itu adalah batik day aku di kantor, datenglah aku ke KUA dengan baju batik panjang dibawah lutut + celana dasar ala kantoran + jilbab. Ehh nyampe KUA aku malah disuruh pulang sama ibu-ibu usia 40-an untuk ganti baju !
Dear nasabah-ku yang nungguin aku di kantor, ini nih biang keroknya yang bikin aku hari itu baliknya lama ke meja layanan.
Si ibu-ibu yang merupakan salah satu ASN di KUA itu bilang pakaianku bukan muslim. Pakaian muslim itu kudu, harus, sama dengan gambar ilustrasi yang terpampang di depan pintu KUA. Perempuanya pokoknya harus GAMIS. Jujur aku gondok se-gondok-gondoknya hari itu. Aku ngerasa dipersulit dan kesal sama petugas KUAnya. Gimana kalau rumahku ternyata jauh? atau aku ga punya gamis?
Si ibu mungkin ngerasa pinter, bisa menjaring orang yang gak sesuai kriteria menurutnya. Tapi tanpa disadari beliau menjadi oknum yang bisa memperburuk image ASN sebagai pelayan publik. Aku paham kenapasih di KUA itu ada dresscode, ya karna kita bakal disuru baca ayat suci selain setelahnya mendengar ceramah pernikahan dari penghulu. Pasti nih di luar sana bisa aja ada orang yang ga ngerti tata krama berpakaian untuk skrining, maka dibuatlah ketentuan untuk menseragamkan peserta skrining. Tapi, aturan dibuat saklek sama oknum-oknum degil. Tanpa mereka memahami terlebih dahulu esensi atau makna dari pakaian muslim itu sendiri apasih?
Padahal nih di situs milik pemerintah Provinsi Sumatera Barat (sumbarprov.go.id) menerakan bahwa "Islam hanya menetapkan bahwa pakaian itu mestilah bersih, menutup aurat, sopan, dan sesuai dengan akhlak seorang muslim. Aurat lelaki menurut ahli hukum ialah daripada pusat hingga ke lutut. Aurat wanita pula ialah seluruh anggota badanya, kecuali wajah, tapak tangan dan tapak kakinya"
Jadi ya pakaian muslim ga melulu harus gamis. Yang penting bersih, sopan , menutup aurat dan tidak membentuk tubuh alias ga ketat. Gapapa deh, pengalaman menerima layanan buruk dari salah satu ASN di KUA tadi biar aku simpan menjadi kenang-kenangan agar kelak aku ga tua menjadi ASN degil juga.
Soal adat istiadat yang tadi, aku mau meluruskan sedikit nih. Aku yakin segala sesuatu yang telah menjadi tradisi turun menurun dari orang-orang terdahulu sebelum kita bertujuan baik. Termasuk adat-istiadat dengan segala protokolernya. Adat minang mempertemukan anggota keluarga untuk make sure hari H pernikahan. Menyertakan saudara laki-laki ibu dari masing-masing mempelai. Kerempongan prosesi yang kedua mempelai tadi lalui, mengingatkan bahwa menikahi seseorang bukanlah keputusan yang mudah. Perkara nikah bukan lagi hanya tentang antara dua orang yang saling mencintai. Pernikahan adalah tentang dua keluarga besar yang akan menjadi besanan, tentang orang-orang dari asal yang berbeda menjadi satu kesatuan yang kemudian disebut "keluarga".
BTW soal ending Liam dan Laila, akhirnya setelah melalui jalan yang panjang mereka menikah. Hmmh aku selalu seneng sama film dengan happy ending. Jadi ya.. aku merekomendasikan film ini buat ditonton oleh teman-teman pembaca, terkhusus yang satu partai dengan ku alias "urang minang", hehe. See yaa !!
Comments
Post a Comment