Baru-baru ini netizen heboh banget karna komentar seorang influencer di social medianya. Komentarnya gini.
Jadi Gita Savitri Devi ini adalah seorang influencer asal Indonesia yang tinggal di luar negeri. Setelah menamatkan kuliahnya dibidang ilmu kimia, Gita menikah dengan seorang temanya sesama mahasiswa Indonesia yang juga berkuliah diluar negri, terus Gita ini sekarang selain sebagai youtuber dan influencer kerja di perusahaan kosmetik.
Jadi sebelum jadi konten kreator di youtube keak sekarang, doi aktif menulis di blog. Judulnya A Cup of Tea. Inilah kali pertama aku mengenal Gita Savitri. Isi blognya rata-rata adalah sudut pandang pribadi Gita tentang hal-hal yang dianggapnya menarik. Yang paling heboh, tulisanya tentang keputusanya yang bakal "childfree" setelah menikah.
Setelahnya Gita jadi heboh juga dikomentarin netizen. Namanya juga netizen Indonesia, sebagian setuju-setuju aja dan mensupport sang influencer dengan keputusanya tapi ga sedikit juga yang menghujat. Dan seperti biasa, hujatan netizen Indonesia itu gaada obatnya, pedas sepedas-pedasnya level bon cabe paling tinggi ya masih kalah pedes sama hujatan netizen.
Karna blog-nya Gita tentang Childfree udah lumayan lama banget aku baca, menurutku sih gaada yang salah dengan keputusan seseorang yang memilih untuk tidak mempunyai anak setelah menikah. Walaupun mungkin bagi sebagian besar orang khususnya orang Indonesia tujuan menikah adalah memiliki keturuan, sedikit banyak aku paham dengan keputusan Gita karna ngerasa menikah ternyata gak semata-mata untuk punya keturunan aja. Tapi ternyata ada hal yang lebih besar dibalik kita yang ditakdirkan untuk hidup berpasang-pasangan oleh sang pencipta.
Lagian, di Jepang Childfree dan malah keputusan Unmarried itu adalah hal yang biasa. Sampai-sampai negaranya krisis penduduk dan banyak rumah-rumah kosong yang diambil alih oleh negara karna ga punya ahli waris.
Tapi nih teman-teman, 'mengerti' bukan berarti kita 'setuju' kan? Mampu memahami keputusan seseorang bukan berarti kita harus setuju dan menerapkan keputusan yang sama di kehidupan kita. Yang jelas kita ngga pernah benar-benar tau alasan Gita untuk Childfree.
Banyak hal-hal yang relate diutarakan Gita di blognya dengan kehidupan sehari-hari. Gimana dia gasuka basa-basi orang sekitar yang ngga sopan, kayak nanya "kapan nikah" ke perempuan yang belum bahkan belum tentu mau menikah. Hingga pertanyaan "kapan punya anak?" ke perempuan yang baru nikah tapi belom hamil dan bahkan juga belum tau mau hamil atau engga. Selain Gita, aku atau bahkan kita semua adalah orang-orang yang pernah tersakiti juga dengan pertanyaan-pertanyaan orang terdekat.
Melihat bahasa Gita karna sering baca tulisanya, menurutku Gita adalah orang yang berani mengutarakan pendapatnya. Setelah tulisanya di blog tentang childfree banyak yang hujat, dia tetap berani berpendapat tentang hal-hal gabiasa yang orang Indonesia udah menganggap wajar/lumrah. Salah satunya, pendapat dia tentang paham Patriaki.
Seringkali ketika sedang santai aku ngikutin chanel youtubenya Gita. Menurutku pembahasan mengenai paham patriaki adalah konten yang paling menarik. Beberapa kali Gita membahas mengenai patriaki sehingga membuat aku merasa tertarik untuk mencari sumber lain yang membahas patriaki.
Patriaki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral delam organisasi sosial. Posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi. (Pinem,2009:42)
Budaya patriaki ini sebetulnya sudah sangat mengakar di kehidupan karna sudah ada sejak 586 M (sebelum datangnya islam). Saking rendahnya, pada masa itu perempuan dapat dipejualbelikan. Bahkan pada zaman jahiliyah anak perempuan yang lahir langsung dikubur hidup-hidup karna dianggap sebagai aib. Teman-teman pembaca yang mungkin sudah memiliki anak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu ketika hamil dan melahirkan di zaman jahiliyah.
Sebetulnya nggak hanya itu, pada masa itu ketika seorang perempuan suaminya meninggal maka perempuan itu dapat diwariskan kepada keluarga istrinya. Dianggap sebagai harta suami.
Namun ternyata budaya patriaki bukan hanya soal kestaraan gender antara perempuan dan laki-laki aja. Hingga kini budaya patriaki masih erat dengan kehidupan sehari-hari kita walau islam sudah menyampaikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan untuk mendapat kedudukan yang setara dihadapan Allah (Qs Al Ahzab (33);35 dan Qs Al Zariyat: 56)
Tanpa kita sadari budaya patriaki ini adalah hal terdengar sederhana namun berdampak besar bagi kehidupan kita. Gita Savitri emang oke banget soal nyari data yang valid, disalah satu vidio youtubenya ia menyajikan data hasil riset pribadi bahwa sampai sekarang sebetulnya kita masih belum berada di zaman yang sudah stabil kesetaraan gendernya. Karna rata-rata di dunia kerja yang memiliki kesempatan berkarir ke posisi yang lebih tinggi itu masih di dominasi oleh kaum pria. Hal ini terjadi karna perempuan dianggap punya banyak kekurangan seperti kemungkinan menurun kinerjanya saat hamil, harus libur bekerja saat cuti melahirkan kamudian harus menyusui dan merawat anak.
Terus? apa ya kira-kira pengaruh lebih besar dari budaya patriaki?
Salah satunya kekerasan di rumah tangga. Dilansir dari situs www.doktersehat.com salah satu penyebab umum terjadinya KDRT adalah kekuasaan yang tidak seimbang. "Kekuasaan suami sebagai kepala rumah tangga terbentuk karena adanya unsur-unsur kultural di mana ada norma-norma dalam kebudayaan tertentu yang menguntungkan suami. Misalnya, terdapat gagasan bahwa suami memiliki kuasa dari pada istri. Pandangan ini terbangun karena kaum lekaki memandang istri adalah pelayan suami, objek seks, atau apa pun yang diinginkan suami harus dituruti."
Comments
Post a Comment